Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

feature content slider

Template Information

Contact online


BLOG IS MY SALESMAN ARDA DINATA:
ARDA BLOGGING SUCCESS:
| Arda News Success | Blogging Success | Wisdom Business | Quantum Writers | Inspiring Intelligence | Mosquito & Public Health | Getting Rich | Writers Success | Sprituality Health | Farmakologi | Sanitary | Physiology | House Keeping | Pollution News | Photografy|


| ARDA EKLIPING INDONESIA | Cara Menjadi Kaya | Dunia Kesehatan Spritual | Dunia Pustaka dan Referensi | Dunia Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang | Dunia Kesehatan Lingkungan | ALIFIA E-Clipping and Reviewing | Reuse News Indonesia | ARDA Reseller News | Rahasia Penulis Sukses | Reseller News Indonesia |

MENU ARDA EKLIPING INDONESIA:
| BERANDA KLIPING | KLIP IPTEK | KLIP PSIKOLOGI | KLIP WANITA | KLIP KELUARGA | KLIP ANAK CERDAS | KLIP BELIA & REMAJA | KLIP GURU & PENDIDIKAN | KLIP HIKMAH & RENUNGAN |

MENU HIDUP SEHAT DAN KAYA:
| Dunia Spritual dan Kesehatan | Rahasia Menjadi Kaya | Dunia Reseller | Reuse News | Pustaka Bisnis |

MENU ARDA PENULIS SUKSES:
| Inspirasi Penulis | Rahasia Penulis | Media Penulis | Sosok Penulis | Pustaka Penulis |

MENU AKADEMI PEMBERANTASAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG:
| Dunia P2B2 | Dunia NYAMUK | Dunia LALAT | Dunia TIKUS | Dunia KECOA | Pustaka P2B2 |

MENU AKADEMI KESEHATAN LINGKUNGAN:
| Inspirasi ARDA | Dasar KESLING | P.Sampah | Tinja & Aair Limbah | Binatang Pengganggu | Rumah & Pemukiman Sehat | Pencemaran Lingkungan Fisik | HYPERKES | Hygiene Sanitasi Makanan | Sanitasi Tempat Umum | Air Bersih | Pustaka Kesehatan |

MENU MIQRA INDONESIA:
| Home Inspirasi | Opini | Optimis | Sehat-Healthy | Keluarga-Family Life | Spirit-Enthusiasm | Ibroh-Wisdom | Jurnalistik | Lingkungan-Environment | Business | BooK | PROFIL | Jurnal MIQRAINDO | Reseller News Indonesia |

DAFTAR KORAN-MAJALAH INDONESIA:
| Pikiran Rakyat | KOMPAS | Galamedia | Republika | Koran Sindo | Bisnis Indonesia | Sinar Harapan | Suara Pembaruan | Suara Karya | Suara Merdeka | Solo Pos | Jawa Pos | The Jakarta Post | Koran Tempo | Media Indonesia | Banjarmasin Post | Waspada | Suara Indonesia Baru | Batam Pos | Serambi Indonesia | Sriwijaya Post | Kedaulatan Rakyat | Pontianak POS | Harian Fajar | Harian Bernas | Bangka Post | Harian Surya | Metro Banjar | Pos Kupang | Serambi Indonesia | Kontan | Majalah Gamma | Majalah Gatra | Majalah Angkasa | Majalah Intisari | Majalah Info Komputer | Majalah Bobo | Majalah Ummi | Majalah Sabili | Majalah Parentsguide | Majalah Suara Muhammadiyah | Majalah Amanah | Majalah Tabligh | Majalah Insight |Majalah Annida | Majalah Network Business | Tabloid PC+ | Majalah Komputer Easy | Tabloid NOVA |Loka Litbang P2B2 Ciamis |


MIQRA INDONESIA GROUP
Kantor Pusat
: Jl. Raya Panganadaran Km.3 Pangandaran Ciamis 46396
Telp. (0265) 630058
Copyright © 2006-2010, Miqra Indonesia,
Email : miqra_indo@yahoo.co.id
Homepage : http://www.miqra.blogspot.com/
Design by Arda Dinata,
Wong Tempel Kulon - Kec. Lelea - Kab. Indramayu - Indonesia

Test Footer

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

12 September 2008

Membangun Kebeningan Hati dalam Berpolitik

Oleh ARDA DINATA
http://kabararda.blogspot.com


BENING
berarti sesuatu yang dapat dikatakan dalam kondisi jernih, hening, dan atau transparan. Dalam ilmu anatomi, hati diartikan sebagai suatu bagian isi perut yang merah kehitam-hitaman warnanya, terletak di sebelah kanan perut besar, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu.

Hati disebut juga sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia, dianggap sebagai tempat (pusat) segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan, dsb). Arti lainnya, hati merupakan pusat pemahaman/ internalisasi. Pusat Intutional Intelectual (II). Pusat memori dari semua amal (baik-buruk). Indera perasaan (rasa halus), untuk pencerapan hal yang abstrak. Indera hati (mata dan telinga hati), untuk pencerapan alam gaib.

Pada hati itulah, organ badan lainnya mengambil keteladanannya, dalam ketaatan atau penyimpangan –selalu mengikuti dan patuh dalam setiap keputusannya--, Nabi Saw bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ini ada sepotong daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan bila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, sepotong daging itu ialah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

Hati manusia itu memiliki komponen sifat hidup dan mati. Dalam tataran ini, hati manusia diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, Qalbun Shahih (hati yang suci). Yaitu hati yang sehat dan bersih dari setiap nafsu yang menentang perintah dan larangan Allah, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya.

Kedua, Qalbun Mayyit (hati yang mati). Yaitu hati yang tidak pernah mengenal Ilahnya; tidak menyembah-Nya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. Akan tetapi, ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginannya, walaupun hal ini menjadikan Allah marah dan murka dibuatnya.

Ketiga, Qalbun Maridl. Yaitu hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di dalamnya tersimpan benih-benih penyakit. Tepatnya, kondisi hati ini kadang-kadang ia “berpenyakit” dan kadang pula hidup secara normal, bergantung ketahanan (kekebalan) hatinya.

Singkatnya, hati merupakan sifat (tabiat) batin manusia. Sehingga, tidak berlebihan, apabila kita dituntut untuk selalu menjaga dan memelihara hati dari sesuatu yang dapat mengotorinya. Puncaknya, tidak lain kita berusaha menjadikan kehidupan ini selalu diselimuti dengan bening hati.

Betapa indahnya, hidup dengan bening hati. Bening hati berarti jernih hatinya (mudah mengerti, dsb) akan sesuatu kebenaran menurut pandangan Allah yang diperlihatkan kepada manusia. Suasana kehidupan dengan bening hati akan selalu mengkonsulkan segala aktivitas hidupnya dengan indera perasaan (kebenaran) dan suara hati nuraninya.

Akhlak Berpolitik

Saat ini, keamanan dan kedamaian dalam bernegara (kecenderungan) ditentukan oleh kondisi politik yang ada. Politik merupakan simpul tali yang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Menurut Kuntowijoyo, kita tidak usah hirau dengan pernyataan bahwa “politik itu kotor”. Sebab, yang sesungguhnya kotor itu bukan politik, tapi manusianya (pelakunya). Politik adalah fitrah. Ia berada dalam garis linier dengan agama. Politik dan agama, atau agama dan politik, adalah dua hal yang tidak bertentangan. Maka, adalah hal yang keliru orang-orang yang memisahkan agama dengan politik.

Politik adalah tata aturan hidup yang kasat mata. Namun demikian, tidak berarti hal itu dapat dipisahkan dari ruh agama. Sebaliknya, justru harus merupakan manifestasi dari sosok manusia beragama. Konsekuensinya, meski sama-sama beragama Islam, namun umat Islam berbeda dalam hal penafsiran, pemahaman, dan pengalaman agamanya. Perbedaan ini, sah-sah saja, sepanjang menyangkut furu’ (cabang), bukan menyangkut pokok seperti akidah (tauhidullah).

Di sinilah, kita harus membangun politik yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Tepatnya, politik harus menjadi sarana untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi. Tanpa partisipasi politik umat Islam, yang mampu menjalankan politik Islam secara benar, maka ajaran Islam sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mencapai itu, kita tidak boleh terlepas dari etika Islami. Kita sependapat, untuk mencapai sesuatu hasil yang bagus, harus menggunakan cara yang bagus pula. Mustahil, sebuah partai politik (baca: berpolitik) akan mampu membela Islam dan umat Islam, jika tega menggunakan cara curang, penuh intimidasi, manipulasi, dll. yang diharamkan. Di sinilah, perlunya kita membangun kebeningan hati dalam berpolitik. Sehingga hasil yang diperoleh benar-benar bersih. Dan dengan cara yang bersih pula, maka hasilnya akan mengandung manfaat yang penuh berkah.

Dalam konteks ini, ada beberapa akhlak yang perlu dibangun untuk mencapai keindahan berpolitik dengan bening hati, yaitu: (1) Niatkan secara ikhlas. Islam memandang politik sebagai bagian dari amal saleh, maka usahakanlah niatan berpolitik tidak hanya berdampak pada soal duniawi, tapi lebih dari itu menyangkut soal akhirat.

(2) Tidak berdusta. Berpolitik sangat potensial untuk mengobral janji dan membohongi, sehingga jauhkan dari sifat dusta dalam berpolitik. (3) Menampilkan program-programnya dengan cara sebaik-baiknya. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat sebaik-baiknya (ihsan) dalam segala sesuatu.” (HR. Muslim).

(4) Tidak memaksa. Politik adalah jalan dakwah dan bukan jalan menghalalkan cara untuk meraih suara maksimal. Kita tak boleh memaksa orang lain untuk menerima, mendukung, dan memberikan hak pilihnya ke satu partai (baca: identik dengan makna QS. 2: 256).

(5) Tidak mengucapkan janji secara berlebihan dalam rangka menarik massa agar mendukung partainya (baca: QS. 17: 34). (6) Tetap menjaga ukhuwah Islamiyah, meskipun masing-masing muslim berbeda partai (baca: QS. 49: 10).

(7) Tidak memuji-muji sendiri atau partainya. Akhlak Islam mengharuskan agar suatu partai tidak menganggap dirinya paling baik, Islami, dan sejenisnya. Dan pada pihak lain, ia menganggap partai lain tidak ada yang benar.

(8) Tidak jatuh dalam ghibah, caci maki, dan kata-kata kotor. (9) Memberikan kemaslahatan bagi bangsa, baik material dan atau spritual. (10) Dalam aktivitas partainya, selalu ingat akan syariat yang telah diwajibkan oleh Allah Swt. (11) Memberikan teladan yang baik. Nabi Saw bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.”

Dalam perjalanan “politik Indonesia,” kiranya patut diteladani sikap politik Hamka –Haji Abdul Malik Karim Amrullah--. Pada pribadinya ada sisi lunak, ada juga sisi kerasnya. Jika sudah menyangkut akidah, Hamka tak kenal kompromi. Ia sangat tegas dan kosisten. Sebagai contoh, sikap Hamka terhadap perayaan Natal Bersama yang pada tahun 1970-an digalakan pemerintahan Soeharto. Selaku ketua MUI saat itu, Hamka mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam untuk mengikuti Natal Bersama, karena merupakan ritual umat Nasrani. Ketika itu Pemerintah mendesak Hamka agar mencabut fatwanya. Tapi, ia menolaknya. Ia memilih mundur dari jabatan ketua MUI daripada harus mengikuti desakan Pemerintah.

Sikap tegas Hamka itu, tidak lain untuk menjaga integritas pribadinya sebagai ulama. Tepatnya, sikap politik Hamka menunjukkan pribadi yang marwah, punya harga diri. Ia tidak gampang tergoda oleh kekuasaan dan fasilitas. Dan inilah, kelihatannya yang hilang dalam sikap berpolitik kita saat ini. Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Politik Perubahan Bangsa dan Telaga Kesejukan Islam

Oleh Arda Dinata
http://kabararda.blogspot.com


SAAT
ini --menjelang pemilihan umum (pemilu) 2004--, keadaan keamanan dan kedamaian dalam bernegara (kecenderungan) ditentukan oleh kondisi politik yang ada. Politik merupakan simpul tali yang menghubungkan diantara manusia. Menurut Kuntowijoyo, kita tidak usah hirau dengan pernyataan “politik itu kotor”. Sebab, yang sesungguhnya kotor itu bukan politik, tapi manusianya (pelakunya). Politik adalah fitrah. Ia berada dalam garis linier dengan agama. Politik dan agama, atau agama dan politik, adalah dua hal yang tidak bertentangan. Maka, adalah hal yang keliru bila orang yang memisahkan agama dengan politik.

Politik adalah tata aturan hidup yang kasat mata. Namun, bukan berarti hal itu dapat dipisahkan dari ruh agama. Sebaliknya, justru harus merupakan manifestasi dari sosok manusia beragama. Konsekuensinya, meski sama-sama beragama Islam, namun umat Islam berbeda dalam hal penafsiran, pemahaman, dan pengalaman agamanya. Perbedaan ini, sah-sah saja, sepanjang menyangkut furu’ (cabang), bukan menyangkut pokok seperti akidah (tauhidullah).

Di sinilah, kita harus membangun politik yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Politik harus menjadi sarana untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi. Tanpa partisipasi politik umat Islam, yang mampu menjalankan politik Islam secara benar, maka ajaran Islam sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mencapai itu, kita tidak boleh terlepas dari etika islami. Bukankah untuk mencapai sesuatu hasil yang bagus, harus menggunakan cara yang bagus pula. Mustahil, sebuah partai politik (baca: berpolitik) akan mampu membela Islam dan umat Islam, jika tega menggunakan cara curang, penuh intimidasi, manipulasi, dll. yang diharamkan. Di sinilah, perlunya kita membangun kebeningan hati dalam berpolitik. Sehingga hasil yang diperoleh benar-benar bersih. Dan dengan cara yang bersih pula, maka hasilnya akan mengandung manfaat yang penuh berkah.

Islam sendiri merupakan sumber inspirasi bagi kehidupan manusia di panggung dunia, termasuk dalam hal melakukan politik perubahan bangsa. Artinya setiap kita ‘bebas’ memainkan peran apa saja, yang jelas setelah itu kita akan menjalani kehidupan sebenarnya. Di situlah, eksistensi seorang manusia menjadi taruhannya dalam menggapai hidup bahagia yang hakiki.

Aktualisasi perilaku dalam menggapai tujuan hidup itu, pada masyarakat realitasnya banyak yang keliru dan semu. Mereka dengan berbagai cara berusaha mempertahankan kedudukan, pangkat, jabatan dan status sosial lainnya, yang kadangkala mengabaikan etika dan moralitas. Padahal, Islam sendiri mengajarakan bahwa berbagai label duniawi itu hanyalah aksesoris dunia semata. Justru, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia manusia yang akan mengantarkannya pada status hidup bahagia.

Perilaku model itu, saat ini masih mengayomi pola pikir masyarakat Indonesia. Materialisme diagungkan, sementara moralitas diabaikan. Kenyataan ini, kalau kita sadar dan mau jujur sebenarnya itulah yang merupakan akar dari keterpurukan bangsa ini. Dampaknya, bila pola pikir dan perilaku semacam itu masih dilakukan masyarakat, maka jangan harap bangsa ini segera mengalami perubahan kehidupan yang lebih baik.

Oleh karena itu, pantas saja TS Eliot mengungkapkan, “Kehidupan di dunia ini mungkin akan berakhir dengan rengekan ketimbang jeritan. Dunia ini mungkin akan terjerumus ke dalam masa depan yang suram, diledakan oleh konflik, menderita ketidakadilan, yang dengan nekad mencoba mencari bentuk kehidupan yang lebih berarti.” Dengan kata lain, masyarakat saat ini sebenarnya sedang memerlukan pemahaman tentang perubahan bangsa. Untuk mencapainya, kuncinya harus berawal dari pemahaman perubahan sosial yang terjadi di masyarakat secara baik.

Perubahan sosial, kata Selo Soemardjan, diartikan sebagai perubahan-perubahan pada lembaga sosial di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok dalam masyarakat. Sementara para ahli sosiolog, membagi perubahan sosial menjadi beberapa bentuk. Pertama, perubahan lambat (evolusi) dan perubahan cepat (revolusi). Kedua, perubahan kecil dan perubahan besar. Ketiga, perubahan yang dikehendaki (direncanakan) dan perubahan yang tidak dikehendaki (tidak direncanakan).

Atas kesadaran itulah, harusnya kita ‘melek’ betul bahwa kehidupan ini pasti mengalami perubahan-perubahan, namun bentuknya bisa saling tumpang tindih atau berkolaburasi satu sama lainnya. Yang jelas, tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa.

Jadi, sangat wajar bila berawal dari berlangsungnya perubahan sosial yang baik di masayarakat itu akan berdampak terhadap perubahan bangsa yang baik pula di kemudian hari. Inilah kelihatannya sebuah kesadaran yang perlu dipahami oleh setiap kalangan pembangun bangsa, sehingga kita tidak terbawa dalam mitos perubahan yang menyesatkan.

Mitos perubahan sosial

Bagi orang Islam, hidup haruslah tidak terlepas dari aktivitas baca. Karena membaca merupakan kewajiban yang diserukan pertama kali melalui firman-Nya, seperti yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. aktivitas baca ini haruslah dimaknai secara aktif terhadap “tanda-tanda baca” yang telah diperlihatkan-Nya pada manusia. Di sinilah, fungsi akal memiliki peranan yang sangat menentukan untuk dapat membaca secara benar terhadap ayat-ayat Allah yang tertulis maupun tersirat dalam realitas alam.

Pada konteks ini, betapa banyak realitas alam yang telah mengajarkan pada makhluk berakal untuk memaknai atas sunatullah dari perubahan hidup. Misalnya, bagaimana sebuah pohon menjadi besar. Berawal dari biji, tumbuh akar, tunas, daun, buah dan kemudian mati. Begitu pun manusia, dari kandungan ibunya, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati. Bukankah semua itu pertanda sebuah perubahan dalam hidup manusia yang harus dijalani?

Adanya proses perubahan itu dimaksudkan untuk menggapai kedewasaan dan kesempurnaan hidup seorang hamba di hadapan Sang pemeilik kehidupan. Sayangnya, makna tersebut tidak mampu ditafsirkan secara benar dalam masyarakat kebanyakan. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa mitos yang tersebar di masyarakat berkait dengan makna perubahan tersebut.

Menurut Agus Setiaman (2000), ada tiga mitos tentang perubahan ini. Pertama, mitos penyimpangan. Sejumlah besar pemikiran sosiologis membayangkan perubahan sosial dalam arti sebagai perkosaan terhadap keadaan normal. Artinya keadaan normal peristiwa dalam masyarakat adalah terus menerus, institusi atau nilai-nilai kebudayaan dibayangkan stabil sepanjang waktu.

Presfektif yang dominan dalam dekade belakangan ini adalah persfektif struktural fungsional yang memusatkan perhatian dan dukungannya pada tatanan sosial yang ditandai stabilitas dan integrasi. Pemutusan perhatian pada stabilitas ini (akibatnya mengabaikan perubahan) dengan asumsi bahwa analisis statis dapat dilakukan tanpa mempersoalkan perubahan, dan untuk memahami perubahan sosial, terlebih dahulu diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang masyarakat dalam keadaan statis.

Kedua, mitos tentang trauma. Pemikiran yang mengatakan perubahan adalah abnormal sering dihubungkan dengan pemikiran yang mengatakan bahwa perubahan adalah traumatis. Perubahan dipandang sebagai siksaan, krisis, dan agen asing yang tak terkendali. Dalam hal ini, Spincer memberikan pandangan mengapa orang trauma dalam menghadapi perubahan? Penyebabnya adalah perubahan itu dibayangkan dapat mengancam keamanan dasar, perubahan itu tidak dipahami masyarakat, dan perubahan itu terlalu dipaksakan.

Ketiga, mitos perubahan satu arah dan pandangan utopia. Auguste Comte dalam teori evolusi sosialnya menyatakan bahwa semua masyarakat menuju pada tujuan yang seragam dan menempuh jalan yang seragam pula untuk mencapai tujuan tersebut. Teori ini melukiskan urutan perkembangan masyarakat pada urutan yang tak terelakan, menjurus ke arah tujuan yang telah ditakdirkan sebelumnya.

Dalam pandangan utopia berasumsi bahwa masyarakat industri modern mencerminkan wujud tertingginya dalam prestasi manusia. Karena itu, penyelesaian masalah dunia adalah terletak pada usaha membantu negara-negara berkembang memodernisasikan dirinya secepat dan sebaik mungkin sehingga serupa dengan Barat. Dengan demikian negara-negara berkembang segera menikmati perdamaian dan kesejahteraan.

Telaga kesejukan Islam

Tersebarnya mitos-mitos tersebut, tentu memberi dampak cukup berarti dengan perjalanan perubahan bangsa. Lebih-lebih hal itu didukung oleh realitas akibat perubahan sosial yang ada selama ini menyebabkan terjadinya berbagai krisis. Misalnya, ketika era reformasi muncul, banyak orang berpengharapan bahwa krisis ini akan segera teratasi.

Namun kenyatakan memperlihatkan, walaupun berbagai upaya untuk memulihkan telah dilakukan, tetapi karena parahnya kerusakan yang terjadi di hampir sisi kehidupan bangsa, hingga saat ini telah menyebabkan upaya yang ditempuh pemerintah belum berhasil menunjukkan tanda-tanda terang menuju perbaikan.

Konsekuensi realitas tersebut, terlihat nyata di hadapan realita perubahan saat ini sebagian manusia memilih menjadi kaum status quo. Menolak apa pun yang berbau perubahan. Di sisi lain, sebagian lainnya justru sangat bersemangat mengusung bendera perubahan. Kaum ‘pembaharu’ ini tiada henti meneriakkan ide revolusi. Salah satu yang sedang hangat menjelang pemilu 2004 adalah membuat daftar para “politisi hitam’, agar masyarakat tidak memilih figur yang memiliki “cacat secara hukum dan politik kotor”. Dengan “pedang terhunus” mereka membabat atribut-atribut kemapanan, sambil bersenandung, mengutip ungkapan filsuf Yunani, "Segala sesuatu berubah, kecuali perubahan itu sendiri.”

Keberadaan kedua kelompok itu, secara nyata telah menghiasi perjalanan “perahu bangsa” bernama Indonesia. Dan masing-maasing kekuatan itu, tentu akan berusaha membela kepentingannya. Hal ini, meminjam bahasa Joko Waskito, ide statisme yang menyakini bahwa kehidupan ini baku, tetap, berhenti dan tiada toleransi waktu sejengkal pun untuk perubahan adalah wujud kekalahan sejarah yang patut ditangisi selama kita masih memiliki air mata.

Di sisi lain, kaum revolusioner sejati yang menolak apapun yang bersifat tetap, stabil dan baku adalah kalangan yang layak dipertanyakan nalar kritisnya. Kita memahami bahwa sebuah eksistensi tidak akan muncul kecuali melalui proses. Lantas, bagaimana pandangan Islam dalam menyikapi fenomena ini?

Islam dalam banyak keterangan ditemukan sikap yang proposional. Artinya dalam memandang sesuatu persoalan itu sesuai dengan konteks hakikinya. Dalam arti lain, Islam itu adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Pada satu sisi, Islam merupakan agama yang akan melestarikan prinsip-prinsip yang telah baku, seperti prinsip ketahuidan dan realitas sunatullah di alam semesta. Namun, di sisi lain Islam membuka diri terhadap perubahan-perubahan sesuai kemajuan hidup manusia.

Pada tataran demikian, di sinilah kita temukan telaga kesejukan Islam. Atau dalam banyak hal. Pola pendekatan “jalan tengah” sering kali ditawarkan Islam. Lagian, bukankah Islam itu agama rahmatan lil alamin? Di sini, kuncinya terletak pada bagaimana sikap dan perilaku kita dalam mengaplikasikn pola-pola hidup perubahan bangsa itu secara benar atau tidak. Salah satu caranya ialah bagaimana masyarakat mampu berperan aktif untuk memilih figur-figur politik perubahan saat pemilu 2004 nanti?

Akhirnya tidaklah berlebihan, bila pendekatan “jalan tengah” –pada hal-hal di luar prinsipil—menjadi sesuatu yang perlu dibangun bersama-sama dalam memaknai sebuah perubahan bangsa menuju tatanan berbangsa dan bernegara yang lebih baik secara etis maupun moral. Untuk itu, pilihlah sosok-sosok politik pembaharu/perubaahan bangsa menuju telaga kesejukan Islam. Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Orang Biasa yang Luar Biasa

Oleh: Arda Dinata
http://kabararda.blogspot.com

Biasa diartikan sebagai sediakala (yang sudah-sudah, tidak menyalahi adat, tidak aneh). Orang biasa berarti orang kebanyakan. Dialah manusia yang berperilaku ‘apa adanya’ sesuai dengan tuntutan-Nya dan Rasulnya.

Orang biasa merupakan orang yang tidak mempersulit dirinya sendiri. Yakni dengan tidak mempergunakan seribu (bahasa) topeng semata-mata dalam hidupnya. Dan percayalah, sesungguhnya orang yang memperbudak dirinya –dengan topeng kehidupan--, maka ia akan diselimuti ketidak puasan hati, ketidak tentraman, kebingungan, ketakutan, dan kesunyian.

Namun, keberadaan topeng dalam kehidupan ini tentu masih ‘diperlukan’ bagi orang kebanyakan (baca: orang biasa). Baginya, topeng adalah hanya sebagai sarana untuk menjalankan perintah-Nya dan selalu mendekatkan diri, lagi tidak mempersekutukan-Nya. Singkatnya, ia tidak terpedaya oleh topeng yang digunakannya. Apalagi sampai enggan untuk menanggalkannya. Yang akhirnya, dapat menjauhkan dari predikat jadi orang biasa, karena kepura-puraan (topeng) itu telah memperdayanya. Naudzubillah min dzalik.

Betapa enaknya, jadi orang biasa. Pribadinya akan terasa senang (pada perasaan lidah, badan dan atau hati); sedap; nyaman dalam setiap menjalankan misi kehidupan di dunia yang fana ini. Dalam hal ini, Allah SWT menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw sendiri adalah manusia biasa. Katakanlah: “Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), ….” (QS. Fushshilat: 6-8).

Orang Berilmu

Orang berilmu berarti orang yang banyak ilmunya; berpengetahuan; pandai. Dengan ilmu, seseorang akan diberi cahaya dalam hidupnya. Ilmu laksana obor dalam kegelapan. Di sinilah, pentingnya ilmu dalam hidup manusia. Sehingga, pantas saja Rasulullah saw bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim laki-laki dan perempuan.”

Perilaku biasa ala orang berilmu, tentu akan berbeda dengan orang yang tak berilmu. Allah berfirman, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadillah: 11),

Imam Al Ghazali dalam Mukhtasar Ihya’ Ulumuddin, mengungkapkan bahwa derajat itu tergantung pada dekat dan jauhnya ilmu itu dari akherat (baca: ilmu agama Islam-Pen). Sebagaimana ilmu-ilmu syar’iyah mengungguli ilmu-ilmu lainnya, ilmu yang berkaitan dengan hakikat hukum-hukum syar’iyah mengungguli ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum dhahir. Orang yang faqih memutuskan berdasarkan dhahirnya, apakah hukumnya sah atau tidak, dan dibalik itu terdapat ilmu untuk mengetahui apakah ibadah diterima atau ditolak. Inilah perilaku biasa ala orang yang berilmu (ilmu-ilmu kesufian).

Adalah Ahmad bin Yahya berkata, “Pada suatu hari Asy Syafi’i keluar dari pasar yang menjual lampu-lampu. Kemudian kami mengikutinya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mencela seorang laki-laki ahli ilmu.” Kemudian Asy-Syafi’i menoleh kepada kami seraya berkata, “Bersihkan pendengaran kalian dari mendengarkan omongan yang keji sebagaimana kalian membersihkan lidahmu dari mengucapkannya, karena pendengar itu bersekutu dengan orang yang mengucapkannya.”

Lebih jauh dari itu, biasa ala orang berilmu, maka ia akan memposisikan ilmunya semata-mata hanya dari Allah. Dan semakin banyak mereka menimba ilmu, hati kecilnya akan berkata, “Maha Besar ilmu Allah itu!” Hal ini seperti terungkap dalam QS. Al Israa’: 60, “…. Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia ….”

Jadi, biasa ala orang berilmu, ia tidak akan menjadi sombong, riya dan takabur dengan ilmu yang dimilikinya. Tapi, justru akan berusaha mengamalkan ilmunya dan sebagai sarana berbuat baik kepada sebanyak-banyaknya manusia.

Asy-Syafi’i berkata, “Seorang bijak menulis surat kepada seorang bijak.” Ia berkata, “Engkau telah diberi ilmu, maka jangan kotori ilmumu dengan kegelapan dosa-dosa sehingga engkau tetap dalam kegelapan disaat ahli ilmu diterangi oleh cahaya ilmu mereka.”

Secara demikian, biasa ala orang berilmu akan membatasi dirinya dalam memberikan informasi dengan cara tidak menyampaikan sesuatu di luar jangkauan akal lawan bicaranya. Hal ini seirama dengan sabda Rasulullah saw, “Kami –para Nabi—diperintahkan agar memperlakukan manusia sesuai dengan kedudukannya dan berbicara kepada mereka sesuai dengan kemampuan akalnya,” dan “Apabila seseorang itu berbicara dengan orang lain dengan bahan pembicaraan yang berada diluar kemampuan akalnya berarti ia telah menyebarkan fitnah kepada sesamanya.”

Dalam bahasa lain, Imam Malik bin Anas mengungkapkan, “Tidak pantas bagi seseorang alim berbicara tentang sesuatu ilmu di hadapan orang yang tidak mampu memikirkannya, sebab yang demikian itu sama artinya dengan merendahkan dan menghinakan derajat ilmu itu sendiri.”

Sesungguhnya orang-orang berilmu tidak akan memuji-muji dirinya sendiri, karena apabila seseorang telah memuji-muji dirinya, maka lenyaplah wibawanya. Ilmu itu bukanlah diukur dari banyaknya riwayat yang disampaikan seseorang, tetapi ia merupakan cahaya yang ditempatkan Allah dalam kalbunya. Betapa enaknya, bila kita mampu bersikap biasa ala orang berilmu seperti itu!

Akhirnya, kita berdoa kepada Allah SWT agar selalu dijauhkan dan dilindungi dari setiap tipu muslihat aksesoris dunia (seperti ilmu, harta, jabatan, gelar, dll) yang dapat menyesatkan hidup kita di dunia, lebih-lebih ia dapat menjadi bahan pemberat timbangan keterpurukan hidup kita di akherat kelak. Amin. Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Menghibur Seorang Anak

Oleh: ARDA DINATA
http://kabararda.blogspot.com


SORE
itu, cuaca begitu cerah. Saya seperti biasa setelah shalat Ashar, baru pulang dari kantor. Begitu saya ucapkan salam dan membuka pintu rumah. Di sana, didapati putri kesayanganku (4 th) sedang menunggu dan menyambut dengan antusias atas kehadiranku.

Anak ini, seakan-akan tidak memperdulikan kondisi ayahnya. Dalam pikirannya hanya ada satu kata, yaitu ’bermain dengan ayah’. Pada konteks seperti itulah, seorang ayah harus mampu memposisikan pikirannya dengan pikiran si anak. Untuk itu, hendaknya kita selaku orang tua harus mampu memformulasikan rasa lelah, bijaksana, emosional anak, pendidikan, dan hiburan menjadi satu bentuk amal keikhlasan berupa pemenuhan keinginan si anak (baca: hiburan).

Hiburan adalah kebutuhan tambahan --yang cukup memberi andil dalam perkembangan anak--, setelah kebutuhan akan makan dan minum, pakaian, maupun tempat tinggal. Dari aktivitas hiburan itu, akan terbentuk penyegaran. Penyegaran adalah obat dari kejenuhan rutinitas dalam hidup seseorang. Baik bagi suami, istri, maupun anak.

Atas dasar itu, akhirnya saya memenuhi keinginan anak untuk mendapat hiburan. Hiburan apa? Di luar dugaan saya, ternyata sang anak hanya dengan naik sepeda keliling lingkungan RT/RW dan lapangan, wajah sang anak begitu terlihat bahagia.

Naik sepeda, begitu sederhana. Tidak perlu biaya banyak dan relatif setiap orang tua mampu melakukannya. Tapi, dari hal sederhana ini, justru Subanallah manfaatnya. Diantaranya, bagaimana kita mengajarkan rasa syukur nikmat, menghormati orang lain, aktivitas amaliah di dunia, dll. Tarbiyah itu, tentu masih dalam konteks jangkauan, pikiran dan bahasa anak-anak seusianya.

Yang paling berkesan dari menghibur anak dengan naik sepeda itu adalah proses mendidik anak untuk mensyukuri nikmat. Syukur berarti berterima kasih. Nikmat artinya kesenangan, pemberian, atau karunia. Tepatnya, syukur nikmat berarti suatu pernyataan terima kasih kepada Allah karena telah mendapat kesenangan atau karunia dari-Nya.

Menghibur --naik sepeda-- pada anak dapat dijadikan ajang selain untuk memenuhi hasrat akan hiburan sang anak, kita juga sebagai orang tua dapat memberikan tarbiyah akan aktualisasi rasa syukur nikmat dalam hidup ini. Secara sederhana, kita bisa mencontohkan yaitu seorang manusia yang diberi anggota tubuh yang sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya; terciptanya hewan, tumbuhan; adanya matahari, bintang, langit, awan, dll; atau berupa nikmat non materi seperti nikmat sehat dan adanya waktu senggang, sehingga kita bisa bermain. Itulah sebagian kecil pembelajaran syukur nikmat melalui ajang hiburan.

Yang pasti, pemberian tambahan kebutuhan (baca: hiburan) kepada keluarga (suami, istri, dan anak) adalah lebih utama dari yang lainnya. Rasulullah bersabda: “Pemberian tambahan seseorang kepada keluarganya lebih utama daripada pemberian tambahan kepada orang lain, seperti kelebihan seseorang shalat berjama’ah dibanding seseorang shalat sendiri.” (HR. Ibnu Abu Syaibah). Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.


Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com